Rabu, 09 November 2016



ASSALAMUALAIKUM WR.WB

Nama                           : SAMALAN NASUTION
Nim                             : 71153023
Jurusan                        : ILKOM-1
Fakultas                       : SAINTEK
Semester                      : III
Perguruan Tinggi         : UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SUMATERA UTARA
Dosen                          : DR.JA’FAR, MA
Mata Kuliah                : Akhlak Tasawuf




RESUME BAB III ( AL-MAQAMAT DAN AL-AHWAL )
Identitas buku
Judul buku      : GERBANG TASAWUF
Pengarang       : DR.JA’FAR, MA
Tahun terbit     : SEPTEMBER 2016




AL-MAQAMAT DAN AL-AHWAL
A.    DEFENISI
Al- Maqamat adalah usaha – usaha untuk menempuh perjalanan spiritual (thariqah) berupa tangga – tangga pendakian spiritual yang disebut al maqamat. Dalam kitab al-Luma , al-Thusi menjelaskan bahwa maqamat adalah tingkat an seorang hamba dengan Allah Swt. Yang dibangun atas dasar pelaksanaan ibadah, mujahadah, riyadhah, dan kebersamaan dengan-Nya.Dalam adab al-Muridin, abu al-Najib al-Suhrawardi, al-maqamat adalah tingkatan spiritual seorang hamba dalam ibadah dihadapan Allah Swt.
Al-hal menurut kaum sufi adalah makna yang hadir dalam hati tanpa unsur kesengajaan, upaya, latihan, dan pemaksaan seperti gembira, sedih, lapang, sempit, rindu, takut, dan gemetar. Al-hal datang dari Allah dan al-maqamat adalah hasil usaha yang dilakukan secara terus menerus. Al- Thusi menyebutkan bahwa tingkatan al-maqamat adalah diawali dari tobat, warak, zuhud, kefakiran, sabar, tawakal, dan kerelaan. Menurutnya al-ahwal adalah al-muraqabah, al-qurb, al-mahabah, dan al-yaqin. (DR.JA’FAR M.A., 48 / 2016)

B.     PONDASI AL-MAQAMAT
Dalam risalah al-Qusyairiah, al-Qusyairi menjelaskan bahwa menyepi (khalwah) adalah sifat ahli sufi, dan mengasingkan diri (‘uzlah) menjadi tanda seseorang telah bersambung dengan Allah Swt. Khalwah (menyepi) adalah pemutusan hubungan dengan makhluk menuju penyambungan dengan al-Haqq.
Nashr al-Din al-Thusi mengungkapkan bahwa mengasingkan diri akan dapat mengarahkan salik meraih pancaran dari Allah Swt. Dalam khalwah dan ‘uzlah, seorang salik harus menjalankan berbagai bentuk ibadah, mujahadah, dan riyadhah. Menurut al Qusyairi, ibadah atau ubudiyah adalah melaksanakan segala apayang diperintahkan dan menjahui segala yanf dilarang. Menurut Nashr al-Thusi yang merupakan seorang sufi sekaligus saintis muslim, riyadhah adlah menahan jiwa binatang agar salik tidak mengikuti kecenderungan terhadap nafsu dan amarah, dan menahan jiwa rasional agar tidak menuruti insting binatang serta watak dan perbuatan tercela. Dalam mendapatkan al-maqam dan al-ahwal tertentu, menurut al-Kalabazi, seorang sufi harus mejalankan amalan-amalan agama secara benar. (DR.JA’FAR M.A., 53 / 2016)

C.     Hierarki al-maqamat
Dalam karya-karya tasawuf karangan sufi dari mahzab sunni, akan dapat dilihat ragam rumusan mengenai al-maqamat sebagai tingkatan yang harus diraih seorang salik secara mandiri dengan melakukan berbagai ibadah, al-mujahadah, dan al-riyadat mulai dari maqam pertama sampai pada maqam paling puncak.

1.      Tobat (al-taubah)
Dalam bahasa Indonesia tobat berarti “sadar dan menyesal akan dosa (perbuatan yang salah atau jahat) dan berniat akan memperbaiki tingkah laku dan perbuatan. Hampir semua sufi sepakat bahwa tobat adalah maqam pertama yang harus diperoleh setiap salik. Nashr al-Din al-Thusi berpendapat bahwa syarat tobat adalah pengetahuan terhadap jenis-jenis amal yang akan membawa mafaat (pahala) dan mudrat (dosa). Menurutnya tobat terdiri atas tiga hal yaitu tobat yang berhubungan dengan masa lalu, tobat yang berhubungan dengan masa kini, dan tobat yang brhubungan denga masa depan. Menurut al-Ghazali tobat adalah meninggalkan dosa, dan tidak akan mungkin dapat meninggalkan dosa bila tidak mengenal macam-macam dosa, sedangkan hukum mengetahui macam-macam dosa adalah wajib.
2.      Warak (wara’)
Didunia tasawuf, kata warak ditandai dengan kehati-hatian dan kewaspadaan yang tinggi. Al-Qusyairi menjelaskan bahwa “wara’ adalah meninggalkan segala hal yang syuhbat. Yahya bin Mu’awiz berkata “wara’ terbagi menjadi dua, wara’ lahir yaitu semua gerak aktivtas hanya tertuju kepada Allah Swt. Dan wara’ batin yaitu hati yang tidak dimasuki apapun kecuali hanya mengingat Allah Swt.
3.      Zuhud (al-zuhud)
Dalam bahasa Indonesia, zuhud berarti “perihal meninggalkan keduniawian, pertapaan.”. junaid mengatakan bahwa zuhud adalah “tangan seseorang kosong dari kepemilikan dan kekosongan hati dari ambisi. Menurut al-Ghazali, zuhud adalah sikap tidak menyukai dunia, karena ingin berpaling kepada akhirat. Zuhud dapat berarti berpaling dari selain Allah untuk menuju kepada-Nya.
4.      Kefakiran (al-faqr)
Dalm bahasa indonesia fakir berarti “orang yang dangat berkekurangan, orang yang terlalu miskin atau orang yang dengan sengaja membuat dirinya menderita kekurangan untuk mencapai kesempurnaan batin. Menurut al-Ghazali, fakir dapat bermakna tidak memiliki harta, ada lima tingkatan fakir, dua diantaranya yang paling tinggi derajatnya yakni seorang hamba yang tidak suka diberi harta, merasa tersikasa dengan harta, dan mejaga diri dari kesibukan mencari harta, dan seorang hamba tidak senang bula mendapatkan harta, dan tidak merasa benci bila tidak mendapatkan harta. (DR.JA’FAR M.A., 70 / 2016)
5.      Sabar (al-shabr)
Makna sabar adalah “tahan menghadapi cobaan (tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekasa patah hati), tabah, tenang, tidak tergesa-gesa, dan tidak terburu nafsu.”. Dzun al-Nun al-Mishri, pernah mengatakan bahwa “sabar adalh menjahui hal-hal yang bertentangan, bersikap tenang ketika menelan pahitnya cobaan, dan menampakkan sikap kaya dengan menyembunyikan sikap kefakiran dalam kehidupan.
6.      Tawakal (al-tawakkul).
Tawakkal berasal dari bahasa arab, wakila, yakilu, wakilan yang berarti “mempercayakan, memberi, membuang urusan, bersandar dan bergantung,”. Menurut Nashrr-Dinal-Thusi, tawakkal adalah “mempercayakan semua urusan kepada Allah memiliki kearifan dan kekuasaan untuk menjalankan segala urusan sesuai peraturan-Nya.
7.      Cinta (al-mahabah)
Menurut al-Ghazali, al-mahabah adalah al-maqam sebelum rida. Kaum sufi mendasari ajaran mereka tentang cinta dengan Alquran, hadis dan atsar. Junaid al-Baghdadi, berkata “cinta adalah masuknya sifat – sifat kekasih pada sifat – sifat yang mencintai.”
8.      Rida (al-ridha)
Dalam kamus bahasa Indonesia, rida adalah “rela atau suka, senang hati, perkenan, dan rahmat. Ibn khatib mengatakan bahwa “rida adalah tenangnya hati dengan ketetapan (takdir) Allah Ta’ala dan keserasian hati dengan sesuatu yang dijadikan Allah Ta’ala. (DR.JA’FAR M.A., 83 / 2016)
D.    Al-Maqam Lainnya
Sebagian sufi menilai bahwa setelah mencapai maqam rida, seorang salik masih dapat mencapai maqam seperti makrifat (al-ma’rifah) dan menegaskan bahwa ridha bukan maqam tertinggi.
E.     Mengenal al-Ahwal
Contoh al-Ahwal adalah al-muraqabah, al-khauf, al-raja, dan al-syawq.
1.      Al-Muraqabah
Seorang hamba memiliki keadaan al-muraqabah, yakni keyakinan seorang salik bahwa dirinya selalu diawasi Allah Swt. Dalam berbagai aktivitasnya, sehingga ia hanya akan melakukan amal kebaikan dalam hidupnya, dan membenci dan tidak akan melakukan perbuatan maksiat dan dosa.
2.      Takut (al-khauf)
Kata takut disebut Alquran baik dalam bentuk al-khauf maupun dalam bentuk al-khasyiya, meslipun maknanya tidak hanya berarti takut kepada Allah. Dalam bentuk al-khauf, disebut Alquran sebanyak 124 kali terutama dalam bentuk khaufun, yukhafuna, dan akhafun, sedangkan dalam bentuk yakhsya, khasyiya dengan berbagai bentuknya disebut 48 kali. Menurut al-Qusyairi, “makna takut kepada Allah Swt. Adalah takut kepada siksaann-Nya baik di dunia mauoun akhirat.
3.      Harap (al-raja’)
Menurut al-Qusyairi, raja’ adalah “ketergantungan hati pada sesuatu yang dicintai yang akan terjadi dimasa akan datang. Abd Allah bin Khubiq berkata “raja’ terdiri atas tiga bentuk yaitu, orang yang mengerjakan perbuatan baik dan berharap dapat diterima, orang yang mengerjakan perbuatan jahat dan bertobat, dan berharap mendapatkan ampunan, dan orang yang berdusta dan tidak mengulangi dosa, seraya mengharap ampunan.
4.      Rindu (al-syawq)
Al-Ghazali berpendapat bahwa orang yang memungkiri hakikat cinta kepada Allah Swt., maka pasti ia akam memungkiri hakikat rindu. Apabila seorang hamba mencintai Allah Swt., maka ia pasti akan merindukan untuk bertemu dan melihatnya. Para sufi menjelaskan bahwa al- syawq Al-Qusyairi mengatakan bahwa “rindu adalah keguncangan hati untuk menenmui yang dicintai (Allah Swt). (DR.JA’FAR M.A., 90 / 2016)

Buku pembanding :
Identitas Buku
Judul         : Akhlak Tasawuf
Penulis       : Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A.
Penerbit     : PT Raja Grafindo Persada Jakarta
Cetakan     : Ke-9 Mei 2010

A.    MAQOMAT
Secara bahasa maqomat berarti orang yang berdiri atau pangkal mulia. Istilah ini kemudian digunakan untuk arti sebagai jalan yang harus ditempuh oleh seoarang sufi untuk berada dekat deng Alloh SWT. Untuk maqomat yang harus ditempuh oleh para sufi adalah sebagai berikut sesuai dengan yang disepakati para ahli:
1.    Al-Zuhud
Tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat keduniaan
2.    At-Taubah
Memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan disertai janji yang sungguh-sungguh tidak akan mengulangi perbuatan dosa tersebut, yang disertai dengan melakukan amal kebajikan.
3.    Al-Wara’
Menjauhi hal yang tidak baik
4.    Kefakiran
Tidak meminta lebih dari yang ada pada diri kita
5.    Sabar
Menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Alloh, tetapi tenang ketika mendapat cobaan, dan menampakan sikap cukup.
6.    Tawakal
Apabila seorang hamba dihadapan Alloh seperti bangkai dihadapan orang yang memandikannya, ia mengikuti semua yang memandikan tidak dapat bergerak dan bertindak.
7.    Kerelaan
Menerima qodo dan qodar Alloh dengan hati yang senang
B.     HAL
Hal merupakan keadaan mental, seperti perasaan senang, sedih, takut dan sebagainya. Prof. (Dr. H. Abuddin Nata, M.A.905/2010)

C. MAHABBAH
A.    Pengertian, Tujuan fan Kedudukan Mahabbah
Kata mahabbah berarti mencintai secara mendalam. Kata mahabbah terselebut selanjutnya digunakan untuk menunjukan pada suatu paham dalam tasawuf. Dalam hubungan ini mahabbah obyeknya lebih ditujukan kepada Tuhan. Pengertian mahabbah dari segi tasawuf dikemukakan oleh Al-Qusyairi: “Mmahabbah adalah keadaan jiwa yang mulia yang bentuknya adalah disaksikannya (kemutlakan) Alloh SWT oleh hamba, selanjutnya yang dicintai itu juga menyatakan cinta kepada yang dikasihi-Nya dan yang seorang hamba mencintai Alloh SWT.”

B.    Alat Untuk Mencapai Mahabbah
Para ahli tasawuf menjawabnya dengan menggunakan pendekatan psikologi, yaitu pendekatan yang melihat adanya potensi rohaniyag yang ada pada diri manusia dan dalam diri manusia ada tiga alat yang dapat digunakan untuk berhubungan dengan Tuhan. Yaitu:
1.    Al-Qalb adalah hati sanubari sebagai alat untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan.
2.    Roh adalah alat untuk mencintai Tuhan
3.    Sir adalah alat untuk melihat Tuhan



C.    Tokoh Yang Mengembangkan Mahabbah
Robiah Al-Adawiayah adalah seorang zahid perempuan yang amat besar dari Bashroh di Irak. Ia hidup antara tahun 713-801 H.( Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M.A.9 05/2010)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar